Konflik dan Lunturnya Solidaritas Sosial Masyarakat Desa Transisi
Konflik yang terjadi antar warga desa akhir-akhir ini semakin
sering menjadi pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik.
Beragamnya masalah konflik yang timbul mulai dari masalah yang sepele, saling
mengejek antar pemuda, sampai persoalan perbedaan pendapat dan pandangan antar
warga desa akhir ini patut dijadikan sebagai bahan renungan bersama.
Salah satu potensi konflik yang terjadi pada masyarakat desa secara
langsung dan terbuka adalah antara warga dusun (masyarakat kampung) dengan
warga perumahan (masyarakat pendatang) sebagai masyarakat desa transisi.
Masyarakat desa transisi merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di
perumahan dan permukiman baru di daerah pinggiran kota atau pinggiran pedesaan
yang terjadi interaksi sosial sehingga terjadi tumpang tindih nilai-nilai
tradisional peralihan menuju nilai-nilai modern.
Pada masyarakat desa transisi, peluang konflik antara warga
perumahan dengan warga dusun tersebut bisa terjadi akibat dari adanya pihak
ketiga, yakni pihak developer perumahan dalam pembangunan sarana dan prasarana
yang selalu mengabaikan pembangunan di dusun, sehingga menimbulkan kecemburuan
sosial warga dusun, kurang memberikan peluang integrasi sosial antara
warga perumahan dengan warga dusun, serta kesempatan peluang kerja bagi warga
dusun sebagai masyarakat asli yang sudah lama bertempat tinggal di desa
tersebut.
Pada masa lalu masyarakat desa dikenal dengan sifat gotong
royong.Gotong royong merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang berlaku
di daerah pedesaan Indonesia.Berdasarkan sifatnya gotong royong terdiri atas
gotong royong bersifat tolong menolong dan bersifat kerja bakti.Gotong royong
merupakan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat kita sebagai
petani (agraris). Gotong royong sebagai bentuk kerjasama antar individu, antar
individu dengan kelompok, dan antar kelompok, membentuk suatu norma saling
percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi
kepentingan bersama. Bentuk kerja-sama gotong royong semacam ini
merupakan salah satu bentuk solidaritas sosial.
Gotong royong merupakan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat kita sebagai petani (agraris). Gotong royong sebagai bentuk
kerjasama antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok,
membentuk suatu norma saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani
permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerja-sama gotong
royong semacam ini merupakan salah satu bentuk solidaritas sosial.
Dalam masyarakat primer (umumnya terjadi pedesaan) dicirikan masyarakat yang guyub,
teposelero, dan jalinan kerjasamanya erat.Tetapi dalam masyarakat tipe
sekunder justru terjadi sebaliknya.
Dahulu masyarakat desa dalam khasanah sosiologi dikenal dengan
sebutan masyarakat primer. Namun kini proses solidaritas sosial dan tingkat
partisipasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proses memudarnya ikatan
kerjasama itu disebabkan berbagai faktor, misalnya: masuknya nilai-nilai
kapitalisme, perubahan sosial budaya, migrasi, urbanisasi, dan lain-lain.
Selain itu pada era globalisasi dan informasi telah terjadi
perubahan pada berbagai aspek yang mendorong keterbukaan pada hampir di semua
aspek dan sistem kehidupan manusia, termasuk pada masyarakat desa. Pengaruh
globalisasi ini antara lain menyebabkan terbentuknya masyarakat desa transisi.
Masyarakat desa transisi merupakan masyarakat yang di dalamnya terdapat
masyarakat asli yang sudah secara turun temurun tinggal di desa tersebut dan
masyarakat pendatang yang baru bertempat tinggal di desa tersebut.
Karakteristik masyarakat desa transisi ini meliputi:
(a)
Terjadinya tumpang tindih
antara nilai-nilai tradisional dengan proses modern.
Hal ini dipertegas Riggs (1998) yang menyebutkan
terjadi pola campuran antara nilai-nilai tradisional dengan proses modern.
Disatu sisi nilai-nilai modern yang mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat
desa untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional, di sisi lain nilai-nilai tradisional
yang positif harus bisa dipertahankan dan tidak harus dihilangkan, akan tetapi
dikelola secara proporsional dan fungsional, seperti nilai-nilai
solidaritas pada masyarakat perdesaan di Jawa, tradisi soyo (membantu
membangun atau merenovasi rumah tetangga tanpa dibayar upah), tradisi ngelayat
(mendatangi keluarga tetangga yang ditimpa musibah meninggal), tradisi rewang
(membantu tenaga tetangga yang punya hajatan), tradisi klontang (memberi
sumbangan uang kepada tetangga yang ditimpa musibah kematian dimasukkan ke
dalam kardus aqua atau kaleng), tradisi buwuh (memberikan sumbangan
uang pada tetangga/warga yang menyelenggarakan hajatan), dan tradisi lainnya.
(b)
Masyarakat menjadi
heterogen, seperti: tingkat pendidikan, perkerjaan, dan kepercayaannya.
(c)
Terjadinya pembangunan
perumahan baru di desa pinggiran yang tidak memperhatikan kondisi masyarakat
sekitar, mengakibatkan bisa terjadinya pertentangan antara nilai-nilai yang
dibangun masyarakarat pendatang dengan masyarakat asli, dan kecemburuan social.
(d)
Kawasan desa pinggiran kota,
kawasan di mana semakin tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan industri,
perdagangan, dan perumahan yang membawa dampak positif, yakni memberikan
kesempatan kerja non pertanian bagi masyarakat di wilayah tersebut dan sisi negatifnya
terjadi konflik antara masyarakat asli dan pendatang.
(e)
Masyarakat desa yang mengalami
peralihan dari mata pencaharian di bidang agraris (pertanian) menuju mata
pencaharian non pertanian.
Kondisi tersebut terutama terjadi pedesaan, khususnya masyarakat
desa yang letaknya di pinggiran kota karena kemajuan komunikasi dan
kecenderungan menjadi pusat perdagangan serta lalu lintas komunikasi yang akan
mengalami perubahan drastis. Perubahan ini akan paling terasa pada masyarakat
desa transisi tersebut dalam pergeseran solidaritas.
Guna memelihara nilai-nilai solidaritas sosial dan partisipasi
masyarakat secara sukarela dalam pembangunan di era sekarang ini perlu
ditumbuhkan dari interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural
sehingga munculnya kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya meliputi:
seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh. Pada akhirnya menum-buhkan
kembali solidaritas sosial. Karena solidaritas sosial adalah kekuatan persatuan
internal dari suatu kelompok dan merupakan suatu keadaan hubungan antara
individu atau kelom-pok yang didasarkan pada perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat pengalaman emosional bersama.
Solidaritas sosial adalah perasaan yang secara kelompok memiliki
nilai-nilai yang sama atau kewajiban moral untuk memenuhi harapan-harapan peran
(role expectation). Sebab itu prinsip solidaritas sosial masyarakat
meliputi: saling membantu, saling peduli, bisa bekerjasama, saling
membagi hasil panen, dan bekerjasama dalam mendukung pembangunan di desa baik
secara keuangan maupun tenaga dan sebagainya.
Tradisi solidaritas sosial yang telah ada pada masyarakat kita
secara terus menerus harus tetap dilestarikan dari generasi ke generasi
berikutnya akan tetapi karena dinamika budaya tidak ada yang statis, terjadilah
beberapa perubahan secara eksternal dan internal. Unsur kekuatan yang merubah
adalah modernisasi yang telah mempengaruhi tradisi solidarits sosial. Selain
itu perubahan solidaritas sosial tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain: (a) meningkatnya tingkat pendidikan anggota keluarga sehingga
dapat berpikir lebih luas dan lebih memahami arti dan kewajiban mereka sebagai
manusia, (b) perubahan tingkat sosial dan corak gaya hidup kadang-kadang
menciptakan kerenggangan di antara sesama anggota keluarga, (c) Sikap egoistik,
bila seseorang individu terlalu mementingkan diri sendiri dan keluarganya, lalu
mengorbankan kepentingan masyarakat.
Bentuk perubahan solidaritas sosial yang telah terjadi dalam
masyarakat desa antara lain:
a)
Adanya kecenderungan pada
masyarakat kita, khususnya masyarakat desa transisi pada warga asli dan warga
pendatang berupa kecurigaan terhadap orang lain yang dianggap sebagai lawan
yang berbahaya, ini bisa mengakibatkan terjadinya konflik antar kedua masyarakat
tersebut.
b)
Semakin menipisnya tingkat
saling percaya dan tolong menolong dalam kehidupan masyarakat, sehingga
mengakibatkan menurunnya rasa solidaritas sosial dalam proses kehidupan.
Upaya memelihara solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan tidaklah semudah yang dibayangkan, karena solidaritas
sosial akan terus berkembang menuju kehidupan sosial yang modern. Mampukah
masyarakat desa, khususnya desa transisi beradaptasi dengan masuknya
nilai-nilai yang modern yang mementingkan sikap individualitas dan tidak
mengandung nilai-nilai kearifan lokal?sementara nilai budaya lokal yang dianut
mengandung nilai-nilai kearifan dan sejalan dengan nilai budaya yang ada.
Nilai-nilai solidaritas sosial pada
masyarakat desa transisi:
1.
tumbuh dari pertautan
(integrasi) antara nilai tradisi lokal
dengan nilai modern, akibat terjadinya interaksi antar
kedua warga tersebut.
2.
Nilai-nilai solidaritas yang
memiliki kearifan lokal pada masyarakat dusun dan masyarakat perumahan yang
positif harus dipelihara seiring dengan banyaknya pembangunan perumahan
baru di wilayah pedesaan, karena nilai-nilai
tersebut cenderung meningkatkan partisipasi dalam
pembangunan. Pihak pengembang perumahan berkewajiban mengontrol dan
melakukan kerjasama dengan aparat desa dan
tokoh masyarakat di lingkungan masing-masing
terhadap proses sosial yang berkembang dipemukiman
baru, agar segala gejala negatif yang muncul dapat segera
diantisipasi, misalnya gejala segregasi
sosial (mengabaikan kelangsungan sosial dan
budaya karena menurut perhitungan
ekonomi dianggap tidak menguntungkan developer),
konflik sosial, dan dislokasi sosial (perubahan
pemukiman penduduk dalam jumlah besar dan waktu relatif cepat) sehingga
menimbulkan masalah sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar