HUBUNGAN STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sejak awal
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding fathers telah
menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara.
Cita
desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan Negara
sejak berlakunya UUD 1945, terus memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai
pada era kembali ke UUD 1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Garis
perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa cita desentralisasi senantiasa
dipegang teguh oleh Negara Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke
periode lainnya terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya.
Sebagai
perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah penting
sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk
mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikia, kenyataan
membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam realisasinya. Otonomi daerah
masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah terwujud sebagaimana
yang diharapkan. Kita nampaknya baru menuju ke arah Otonomi Daerah yang
sebenarnya.
Beberapa
faktor-faktor yang menetukan prospek otonomi daerah, diantaranya, yaitu :
1.
Faktor Pertama
adalah faktor manusia sebagai subyek penggerak (faktor dinamis) dalam peenyelenggaraan
otonomi daerah. Faktor manusia ini haruslah baik, dalam pengertian moral maupun
kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur pemerintah daerah yang terdiri dari
Kepala Daerah dan DPRD, aparatur daerah maupun masyarakat daerah yang merupakan
lingkungan tempat aktivitas pemerintahan daerah tersebut.
2.
Faktor kedua
adalah faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya
aktivitas pemerintahan Daerah. Salah stu cirri daerah otonom adalah
terletak pada kemampuan self supportingnya / mandiri dalam
bidang keuangan. Karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat memberikan
pengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sumber keuangan daerah
yang asli, misalnya pajak dan retribusi daerah, hasilm perusahaan daerah dan
dinas daerah, serta hasil daerah lainnya yang sah, haruslah mampu memberikan
kontribusinya bagi keuangan daerah.
3.
Faktor ketiga
adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya
aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup dari segi
jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi penggunaannya.
Syarat-syarat peralatan semacam inilah yang akan sangat berpengaruh terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4.
Faktor keempat
adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan organisasi dan
manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilakukan
dengan baik, efisien, dan efektif.oleh sebab itu perhatian yang
sungguh-sunggguh terhadap masalah ini dituntut dari para penyelenggara pemerintahan
daerah.
Sejarah
perkembangan Otonomi Daerah membuktikan bahwa keempat faktor tersebut di atas
masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya Otonomi Daerah masih menunjukkan
sosoknya yang kurang menggembirakan.oleh sebab itu apabila kita berkeinginan untuk
merealisasi cita-cita Otonomi Daerah maka pembenahan dan perhatian yang
sungguh-sungguh perlu diberikan kepada empat faktor di atas.
1.2.
Tujuan Penulisan
Dengan adanya
otonomi daerah diharapkan daerah tingkat I maupun Tingkat II mampu mengelola
daerah nya sendiri. Untuk kepentingan rakyat dan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat secara sosial ekonomi yang merata.
1.3.
Rumusan Masalah
Makalah ini di
buat dengan rumusan masalah:
1.
Apa itu Otonomi
Daerah?
2.
Bagaimana
Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
3.
Apa dasar hukum
dan Landasan teori Otonomi Daerah?
4.
Apa salah satu
yang paling berperan di dalam Otonomi Daerah?
5.
Apa dampak yang
di timbulkan oleh Otonomi Daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Otonomi daerah berasal dari kata Nomos yang berarti hukum dan auto
yang berarti sendiri, jadi arti harfiah otonomi menetapkan hukum sendiri.
Maksudnya hak mengatur urusan rumah tangga (daerah) sendiri.
Otonomi daerah adalah sebuah tema besar yang berada dalam
ranah administrasi pemerintahan. Otonomi daerah berhubunga erat dengan dasar
kedaulatan rakyat atau kerakyatan. Konkretnya sebagai mana dikemukakan oleh
Moh. Hatta sebagai salah seorang pendiri negara adalah bahwa sebenarnya menurut
dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya
ada pada pucuk pimpinan negeri, melainka juga pada tiap tempat d kota, di desa
dan di daerah. Tiap-tiap golongan persekutuan itu mempunyai Badan Perwakilan
sendiri, seperti Gemeenteraad, Provinciale Raad dan lain-lainnya. Dengan
keadaan yang demikian maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat
autonomi (membuat dan menjalankan peraturan sendiri) dan zelfbestuur
(menjalankan peraturan-peraturan yang dbuat oleh dewan yang lebih tinggi)
Berbagai defenisi tentang otonomi daerah telah banyak
dikemukakan oleh para pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya
menemukan pengertian yang mendasar tentang pelakasanaan otonomi daerah sebagai
manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan sebagai
“mandiri”. Sedangkan dala makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”.
Dengan demikian otonomi daerah berarti kemandirian
suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai
kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi
tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja
secara mandiri tanpa tekanan dari luar.
Pemahaman lebih sederhana dalam arti dapat dicermati
lebih konkret tentang otonomi ini diantaranya adalah berdasarkan UU yang
mengatur tentang otonomi daerah tersebut. Secara umum pemahaman tentang
mekanisme pemerintahan daerah dalam negara kesatuan tidak dapat dilepaskan
keterkaitannya dengan sistem pemeritahan demokrasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan hal itu. Meskipun pada
pelaksanaanya ada berbagai perbedaan bahkan bisa saja bertentangan dengan
mekanisme demokrasi itu sendiri sebagai sistem pemerintahan yang arti
harfiahnya bertumpuh pada rakyat. Akan tetapi, tetap demokrasi tetap
digandrungi dan menjadi ikon bagi sistem pemerintahan di semua negara pada abad
ini.
Sedangkan Desentralisasi sebagaimana didefinisikan
oleh M. Turner dan D. Hulme yaitu transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa
pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada
beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani.
Landasan yang mendasari transfer ini adalah teritorial dan fungsional.
Kemudian Rondinelli mendefinisikan desentralisasi
sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan, menajeman dan alokasi
sumber-sumber dari pemerintahan pusat dan agen-agennya kepada unit kementrian
pemerintahan pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi
publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas,
atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba.[7]
2.2.
Visi Otonomi Daerah
Visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga
ruang lingkup interaksinya yang utama yaitu: politik, ekonomi, serta sosial dan
budaya.
Di bidang politik karena otonomi adalah buah dari
kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai seuah
proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih
secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan
yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu
mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung-jawaban publik.
Demokratisasi pemerintahan juga berarti adanya transparansi kebijakan. Artinya
untuk setiap kebijakan yang diambil harus jelas siapa yang memprakarsai
kebijakan itu, apa tujuannya, berapa ongkos yang akan dipikul, siapa yang
diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, da siapa yang harus bertanggung
jawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan
membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun
sistem dan pla karier politikdan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan
sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus
menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakanekonomi nasinal di daerah, dan di pihak
lain terbukanya peluangbagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional
dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya,
dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan melahirkan berbagai
prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan
proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang
perputaran ekonomi di daerah. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa
masyarakat ke tingkat kesejahtraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus
dikelola sebaik mungkim demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan
pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif dalam
menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan
disekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah
yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999,
menerangkan hal-hal berikut:
1. Penyerahan
sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah kecuali untuk di bidang keuangan dan moneter,
politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa bidang
kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya
semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan. Dalam konteks
ini, pemerintahan daerah tetap terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan,
yaitu daerah kabupaten dan kota di beri status otonomi penuh dan propinsi
diberi status otonomi yang terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi
pemerintahan pusat di pemerintahan daerah kabupaten dan kota kecuali untuk
bidang-bidang yang dikecualikan tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang
yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah propinsi.
Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan hirarki antara
pemerintahan propinsi dengan kabupaten/kota), maka hubungan [ropinsi dan
kabupateb bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil
pemerintah antara kaupaten dan kota dalam wilayahnya, Gubernur juga, melakukan
supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai
kebijakan pemerintah pusat, serta bertanggung-jawab mengawasi penyelenggaraan
pemerintah beradasarkan tonomi daerah di wilayahnya.
2. Penguatan
peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan
kepala daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan
kepemimpinan kepala daerah harus dipertegas. Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD
dalam bidang legislasi, representasi dan penyaluran aspirasi masyarakat harus
dilakukan. Untuk itu, optimalisasi hak-hak DPRD perlu diwujudkan, seraya
menambah alokasi anggaran untuk biaya opersinya. Hak angket perlu dihidupkan,
hak anisiatif perlu diaktifkan dan hak interpelasi perlu didorong. Dengan
demikian, produk legilasi akan dapat ditingkatkan dan pengawasan politik
terhadap jalannya pemerintahan bisa diwujudkan.
3. Pembangunan
tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi menjamin
tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat
akseptabilitas yang tinggi pula.
4. Peningkatan
efektifitas fungsi-fungsi pelayana eksekutif melalui pembahanan organisasi dan
institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang
telah didesentralisasikan, serta dengan beban tugas yang dipikul, selaras
dengan kondisi daerah, serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah. Dalam
kaitan ini juga diperlukan terbangunnya suatu sistem administrasi dan pola
karier kepegawaian daerah yang lebih sehat dan kompetitif.
5. Peningkatan
efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas
sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian pendapatan darisumber
penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata
cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
6. Perwujudan
desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat alokasi subsidi,
pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan
kepada dearah untuk menetapkan priorotas pembangunan, serta optimalisasi upaya
pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
2.3.
Perkembangan Otonomi Daerah Dalam
Undang-Undang
Bagaimana dipahami bahwa dalam tiap-tiap bentuk
kebijakan yang diambil oleh pemerintah, termasuk pembentukan perundang-undangan
tentu menyratka waktu dan tujuan yang ingin dicapai, demikian pula dengan
kebijakan otonomi daerah. Perkembangan otonomi daerah bergerak seperti pendulum
sesuai dengan perkembangan masyarakat baik yang berinteraksi secara internal
maupun pada tatara global. Tidak kurang dari 12 UU telah menjadi dasar pijakan
bagi pengelolaan pemerintah daerah semenjak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang.
UU terakhir yang mengatur mengenai otonomi daerah
adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. UU in sebenarnya juga
dinilai banyak kelemahan karena tertinggal dengan perkembangan masyarakat dan
karenanya juga sudah di sempurnakan secara terbatas. Untuk itu pun sudah
dilakukan setidaknya 2 kali perubahan secara terbatas. Berbagai perubahan
tersebut dilakukan dalam rangka lebih memutakhirkan berbagai ketentuan sejalan
dengan perkembangan sejalan yang dimaksud.
Membandingkan dua Undang-undang yaitu UU No. 32 tahun
2004 dengan UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di daerah
keluar setelah setelah terjadinya pemberontakan G. 30. S/PKI yang gagal,
misalnya dan adanya kehendak untuk melakukan pembangunan dalam segala bidang
kehidupan. Tujuan pemberian otonomi daerah tidak saja bersifat administratif
tetapi juga politis. Dalam pertimbangan (konsideren) UU tersebut dikemukakan
hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam usaha
membina kestabilan politik serta kesatua bangsa.
b. Untuk
terciptanya hubungan yang serasi antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan
Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan.
c. Untuk
melaksanakan otonomi yang nyata dan bertanggung-jawab yang dapat menjamin
perkembangan daerah.
Mengapa dilakukan perbandingan dengan UU No. 5 tahun
1974? Alasan pertama bahwa UU itu berlaku paling lama sebagai dasar hukum
pengelolaan pemerintah daerah. Kedua, secara substansial ada materi yang
kontras dari kedua UU itu disebabkan oleh pola pemerintahan yang berbeda.
Ketiga, bahwa di dalam penyerahan pemerintah daerah terjadi pergeseran pola
otonomi yang sangat mendasar dari kedua UU tersebut, yaitu dari otonomi yang
nyata dan bertanggung-jawab menjadi otonomi yang seluas-luasnya.
Ketiga hal tersebut di atas didefinisikan sebagai
tujuan diciptakannya otonomi daerah atau desentralisasi. Sementara lahirnya UU.
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan sebagai akomodasi
terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan itu terutama sekali di atas asumsi
bahwa UU. No. 5 tahun1974 dinilai bersifat terlalu sentralistik, terlalu banyak
mengandung muatan politis. Artinya dinilai tidak sesuai dengan demokrasi yang
berkembang di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dngan
terjadinya perubahan itu menghendaki penyesuaiandengan keadaan dan perkembangan
yang terjadi.
Di dalam dimensi perkembangan sejarah, secara
konseptual sebenarnya dasar dari permasalahan otonomi daerah ini pernah di
tettapkan dalam Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Artinya permasalahan otonomi daerah tidak semata diatur
pada tingkatan UU tetapi lebih tinggi lagi yaitu dalam Tap MPR. Tujuan
pemberian otonomi kepada daerah menurut GBHN adalah sebagai berkut:
1. Melancarkan
pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh kelompok Negara.
2. Membina
kestabilan politik dan kesatuan bangsa, dan membina hubungan yang serasi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan Negara
Indonesia (NKRI).
3. Pelaksanaan
otonomi daerah yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
4. Meningkatkan
secara bertahap kemampuan aparatur daerah, terutama aparatur pemerintah desa,
dengan fasilitas dan sarana, sehingga benar-benar merupakan alat yang
berwibawa, kuat, efektif, efisien dan bersih, penuh ketaatan dan kesetiaan pada
negara dan pemerintah, walaupun menjalankan tugas di bidang masing-masing dan
hanya mengabdikan diri pada kepentingan negara dan rakyat.
Acuan di atas sebenarnya masih dapat dipandang relevan
sampai sekarang pada tidak terjadinya stagnasi pembangunan di daerah. Dalam hal
ini, secara lebih terinci sebenarnya pelaksanaan pemangunan di daerah itu
mengandung elemen dasar yang senantiasa dikembangkan yaitu:
1. Tujuan
pemberian otonomi kepada daerah adalh untuk memungkinkan daerah yang
bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna di alam menyelenggarakan pemerintahan untuk memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat.
2. Dalam rangka
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelayanan pemangunanmemenuhi
aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut harus diciptakan pemerintahan yang
mempunyai legitimasi kuat di masyarakat.
3. Menghormati,
menghargai dan menjunjung tinggiperbedaan antara daerah yang satu dengan daerah
yang lain.
4. Mengusahakan
sejauh mungki adanya keseragaman dalam hal pengaturan mengenai pemerintah
daerah.
Adapun inti dari tujuan diberikannya otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggung-jawab sebagaimana yang disebutkan dalam UU No.
32 tahun 2004 adalah di dalam rangka idealisme untuk:
1. Menjunjung
aspirasi perjuangan rakyat, yakni memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi
tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang sesungguhnya.
2. Pendemokrasian.
3. Meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam
pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk
menigkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.
UU yang dibuat tahun 2004 itu pun dinilai masih perlu
disempurnakan. Geliat dan kerinduan terhadap kehidupan demokratis melalui upaya
demokratisasi dan perubahan yang serba cepat menghendako akomodasi terhadap
perubahan tersebut. Hal ini dilakukan khususnya untuk menyempurnakan mekansme
oemelihan kepala daerah dengan akomodasi calon perseorangan di dalam pemilihan
kepala daerah. Diadakanlah perubahan secara terbatas atas UU tersebut. Bahkan
perubahan yang diberi klasifikasi “terbatas” tersebut, sebagaimana disampaikan
dilaksanakan sebanyak 2 kali.
Substansi otonomi daerah sebenarnya adalah tentang
bagaimana secara maksimal memberdayakan potensi yang ada di daerah dengan
tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah yang bersangkutan. Sehubungan
dengan permasalahan ini, kiranya perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan
pemerdayaan di sini adalah di dalam kerangka pelaksanaan pemangunan dalam arti
luas. Dalam hal ini, meliputi segala aspek pembangunan, baik material maupun
spiritual, lahiriah maupun batiniah.
Demikian pula, pembangunan daerah dimaksudkan adalah
pembangunan yang dilaksanakan di daerah-daerah baik pada tingkat provinsi maupun
tingkat kabupaten dan atau kota dan tentunya pembangunan ini dikaitkan dengan
kebijakan otonomi daerah atau disentralisasi tidak semata di dalam mekanisme
admnistrasi pemerintahan tetapi menyangkut dan berkenaan dengan seluruh aspek
kehidupan rakyat di daerah.
Secara teknis, pelaksanaan pembangunan daerah otonom
ini tentu sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai refleksi dari
otonomi yang disampaikan kepada daerah. Hal itu sesuai pula dengan adanya
keinginan kuat dari daerah-daerah yang memperoleh keleluasaan di dalam
mengembangkan derah sesuai dengan potensi yang terkandung di dalamnya.
Pengembangan dengan benar-benar memerhatikan dan bahkan dimulai dari ptensi
yang secara riil ada di daerah, akan memajukan daerah yang bersangkutan.
Di dalam hubungan ini, daerah otonom yand dipimpin
oleh Kepala Daerah tersebut diberikan hak, wewenang dan kewajiban untuk
mengatur dan mengurus pembangunan daerah sesuai dengan aspras dan kehendak
rakyat d daerahnya. Hal demikian berarti bahwa sebenarnya otonomi daerah itu
mempunyai maksud tertentu. Sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 32 tahun 2004
maksud otonomi daerah itu adalah:
1. Untuk
memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan. Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut kepada daerah perlu
diberikan wewenang-wewenang untuk melaksanakn berbagai urusan pemerintahan
sebagai urusan rumah tangganya.
2. Di dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan,
maka Undang-undang ini meletakkan titik berat otonomi kepada daerah
kabupaten/kota dengan pertimbangan bahwa daerah kabupaten dan kotalah yang
lebih langsung berhubungan dengan masyarakat, sehingga diharapkan dapt lebih
mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat tersebut.
Atas dasar keterangan tersebut di atas, jelaslah bahwa
kebijakan pemberian otonomi daerah dimaksudkan pula agar pembangunan daerah
dapat dilaksanakan secar berkeadilan, sesuai dengan aspirasi dan kehendak
masyarakat setempet, dengan diupayakan dengan sunggu-sungguh oleh pemerintah
daerah, dengan terus menggali poteni daerahnya. Tentunya dilaksanakan tetap
dalam koridor negara kesatuan Republik Indinesia sebagai satu kedaulatan penuh.
Otonomi daerah tidak boleh merusak dan mendegradasi kualitas negara kesatuan.
2.4.
Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam UU No. 22
Tahun 1999
Prinsip-prinsip pemberian itonomi daerah yang
dijadikan pedoman dalam penyeleggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat
dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah:
1. Penyelenggaraan
otonomi daerah dlaksanakan dengan memperhatikan aspek demorasi, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan
otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung-jawab.
3. Pelaksanaan
otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah
kota, sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan
otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
5. Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak
lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuahan, kawasan perumahan, kawasan
industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan
perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan peratura
daerah otonom.
6. Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif,
baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
7. Pelaksanaan
asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenanga pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan
asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah,
tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung-jawabkan kepada yang menugaskan.
2.5.
Sejarah Otonomi
Daerah
Perjalanan bangsa Indonesia melalui berbagai sistem
pemerintahan dan dipimpin berbagai macam kepala pemerintahan serta munculnya
masalah – masalah baru dalam lingkungan pemerintah ataupun lingkungan
masyarakat tentu sangat membutuhkan tatanan hukum yang berbeda dari waktu ke
waktu untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.
Keberadaan kebijakan mengenai Pemerintahan Daerah
bukan merupakan hal yang final, statis dan tetap tetapi membutuhkan pembaruan –
pembaruan untuk mengatasi berbagai keadaan dan masalah baru yang muncul.
Berikut ini adalah sejarah perkembangan undang – undang yang menjadi pedoman
mengenai otonomi daerah :
1. UU No. 1
tahun 1945 mengatur Pemerintah Daerah yang membagi tiga jenis daerah otonom
yakni, keresidenan, kabupaten, dan kota.
2. UU No. 22
tahun 1948 mengatur susunan Pemerintah Daerah yang demokratis, membagi dua jenis
daerah otonom yakni, daerah otonom biasa dan otonomi istimewa, dan tiga
tingkatan daerah otonom yakni, provinsi, kab/ kota dan desa.
3. UU No. 1
tahun 1957 mengatur tunggal yang berseragam untuk seluruh Indonesia.
4. UU No. 18
tahun 1965 mengatur otonomi yang menganut sistem otonomi yang riil dan seluas
luasnya.
5. UU No.5
tahun 1974 mengatur pokok – pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi
tugas pemerintah pusat di daerah (prinsip yang dipakai : otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab; merupakan pembaruan dari otoda yang seluas – luasnya dapat
menimbulkan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI, dan tidak serasi
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi).
6. UU No. 22
tahun 1999 mengatur tentang Pemerintahan Daerah (perubahan mendasar pada format
otoda dan substansi desentralisasi).
7. UU No. 25
tahun 1999 mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
8. UU No. 32
tahun 2004 mengatur Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999
9. UU No. 33
tahun 2004 mengatur Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah ( perubahan UU didasarkan pada berbagai UU yang terkait
di bidang politik dan keuangan negara antara lain: UU No. 12 tahun 2003
tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD; UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, DPD; UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden; UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1
tahun 2004 tantang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara ).
Sedangkan perubahan yang mendasar dari pedoman Otonomi
Daerah dari UU No. 22 tahun 1999 digantikan oleh UU No. 32 tahun 2004 adalah
sebagai berikut
1. Prinsip –
Prinsip Otonomi Daerah dalam UU No. 22 tahun 1999
a. Demokrasi,
keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
b. Otonomi
luas, nyata, dan bertanggungjawab.
c. Otonomi
daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
d. Sesuai
dengan konstitusi negara.
e. Kemandirian
daerah otonom.
f. Meningkatkan
peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
g. Asas
dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi sebagai wilayah administrasi.
h. Asas tugas
perbantuan.
2. Prinsip –
Prinsip Otonomi Daerah dalam UU No. 32 tahun 2004
a. Demokrasi,
keadilan, pemerataan, keistimewaan dan kekhususan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
b. Otonomi
luas, nyata, dan bertanggungjawab.
Otonomi luas : daerah yang memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkata peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Otonomi nyata : penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Otonomi yang bertanggungjawab : dalam penyelenggaraan otonomi harus sejalan
dengan tujuan dan maksud pemberian otonom, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c. Otonomi
daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
d. Sesuai
dengan konstitusi negara.
e. Kemandirian
daerah otonom.
f. Meningkatkan
peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
g. Asas
dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi sebagai wilayah administrasi.
h. Asas tugas
perbantuan.
2.6.
Permasalahan
Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia
Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah,
banyak orang sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi,
bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan
daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena
sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai
pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu,
pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan
pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut
tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu
tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan
beberapa persoalan yang, jika tidak segera dicari pemecahannya, akan
menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak,
tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari, beberapa
dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi.
Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan
berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-masalah tersebut antara lain :
1.
Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
2.
Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi
daerah yang belum mantap
3.
Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang
belum memadai
4.
Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang
sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
5.
Korupsi di Daerah
6.
Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
2.7.
Konsekuesi Otonomi Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan
daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses
pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah
tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent
risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi,
bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh
kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan
kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji
seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai
daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut
untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang
membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak
dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu
mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini
tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh
institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam
negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan
utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat
wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di
daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah
bahwa banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan
retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam meminta
sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak dan
retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya akan
mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan
warga DKI Jakarta, bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi
objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar
retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika
menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika yang
dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal
ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan
mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi
sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda
tersebut diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi
diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan
pemungutan retribusi.
Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan
bahwa upaya pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi
ini telah melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak sebagai warga negara
kita harus ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan
menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan
retribusi. Akan tetapi, apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut
pendapatan dari rakyatnya hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak
adakah ukuran kepantasan, sejauh mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan
dari rakyatnya?
Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan
pendapatan yang cenderung eksploitatif semacam itu justru akan banyak
mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis
jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus
ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi yang
dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung
secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah
kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak
mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi
dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di daerah.
Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya
akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan
perkembangan ekonomi daerah setempat.
2.8.
Otonomi Daerah Dan Pembangunan Daerah
Otonomi daerah adalah sebuah agenda nasional yang
diharapkan dapat mencegah terjadinya sentralisasi yang sebenarnya sudah menimpa
bangsa Indonesia selama periode orde baru.Sejak diberlakukannya Undang-undag
tentang pemerintahan daerah, yaitu UU no.22 tahun 1999 dan UU no.25 tahun 1999
diharapkan juga dapat membawa perubahan yang signifikan bagi daerah yang juga
nantinya akan membawa kesejahteraan bagi bangsa ini sendiri.
Kebijaksanaan otonomi daerah melalui UU no.22 tahun
1999 memberikan otonomi yang angat luas kepada daerah, khususnya Kabupaten dan
Kota. Hal itu ditempuh dalam rangka mengembalikan
harkat dan martabat di daerah; memberikan peluang politik dalam rangka
peningkatan kualitas demokrasi di Daerahpeningkatan efisiensi pelayanan public
di Daerah, peningkatan percepatan pembangunan Daerah, dan pada akhirnya
diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik.
Otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat
pertumbuhan dan perkembangan daerah selain juga menciptakan keseimbangan antar
daerah hingga terjadi perataan kesejahteraan dan tidak adanya daerah tertinggal
ataupun sentralisasi. Untuk menciptakan pembangunan daerah yang cepat dan
meningkat maka perlu adanya prasyarat terutama bagi penyelenggara daerah
tersebut.
Yang diharapkan dari pemerintahan daerah tersebut
adalah sejumlah berikut.
1. Fasilitas
Pemerintah
daerah sebagai pelaksana daerah sebaiknya memenuhi fasilitas kepada
masyarakatnya terutama yang berkaitan dengan masalah ekonomi,karena memang pada
dasarnya pembangunan daerah dapat terjadi karena bantuan
ekonomi(keuangan).Jadi,jika pemerintah memudahkan fasilitas maka pembangunan
daerah bukanlah sesuatu yang susah pencapaiannya.
2. Pemerintah daerah harus kreatif
Kreatif yang dimaksud di sini adalah bagaiman cara mengalokasikan dana yang
bersumber dari Dana Alokasi Umum atau yang berasal dari PAD. Selain itu
dapat menciptakan keunggulan komparatif bagi daerahnya, sehingga pemilik modal
akan beramai-ramai menanamkam modal di daerah tersebut. Kreatifitas ini juga
berkaitan dengan kepiawaian pemerintah membuat program-program menarik sehingga
pemerintah pusat akan memberikan Dana Alokasi Khusus, sehingga banyak dana yang
di sedot dari Jakarta ke Daerah.
3. Pemerintah daerah menjamin kesinambungan usaha.
4. Politik lokal yang stabil.
5. Pemerintah harus komunikatif dgn LSM/NGO, terutama dalam bidang
perburuhan dan lingkungan hidup.
Namun
sebenarnya yang penting bagi daerah adalah terciptnya
lapangan kerja, serta disertai kemampuan menghadapi laju inflasi dan
keseimbangan neraca perdagangan internasional. Penciptaan
lapangan kerja akan berpengaruh pada peningkatan daya beli dan kecenderungan
untuk menabung, dengan meningkatnya daya beli berarti penjualan atas barang dan
jasa juga meningkat, artinya pajak penjualan barang dan jasa juga meningkat
sehingga Pendapatan Daerah dan Negara juga meningkat. Semuanya akan di
kembalikan pada masyarakat dalam bentuk proyek atau bantuan atau sejumlah
intensif yang lain, sehingga lambat laun kesejahteraan masyarakat akan
meningkat dan disitulah pembangunan daerah benar-benar dijalankan.
2.9.
Kesalahpahaman Terhadap
Otonomi Daerah
Pembaruan kebijaksanaan otonomi daerah menurut Undang
– Undang No. 25 tahun 1974 yang telah dipraktekan selama 25 tahun di indonesia
kemudian berubah menjadi Undang – Undang No. 22 tahun 1999 dan diperbarui
kembali menjadi Undang – Undang No. 32 tahun 2004 yang memberikan otonomi
sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota tentunya menimbulkan
berbagai kesalahpahaman yang muncul di kalangan masyarakat karena terbatasnya
pemahaman umum tentang pemerintahan daerah.
Dalam bukunya yang berjudul Otonomi Daerah
Dalam Negara Kesatuan, Drs. H. Syaukani, HR, Prof. Dr. Afan Gaffar, MA, dan
Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA menyatakan berbagai kesalahpahaman mengenai
otonomi daerah yang muncul dikalangan masyarakat diantaranya adalah :
1. Otonomi
daerah dikaitkan semata – mata dengan uang. Pemahaman
otonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhanya, terutama di bidang
keuangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa uang memang merupakan sesuatu yang
mutlak, namun yuang bukan satu – satunya alat dalam menggerakkan roda
pemerintahan. Kata kunci dari otonomi adalah “kewenangan”. Dengan kewenangan
uang dapat dicari dan dengan itu pula pemerintah harus mampu menggunakan uang
dengan bijaksana, tepat guna dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
2. Daerah belum
siap dan belum mampu. Pembuatan kebijaksanaan otonomi daerah menurut Undang
– Undang No. 22 tahun 1999 dianggap tergesa- gesa karena daerah tidak / belum
siap dan tidak / belum mampu. Munculnya pandangan seperti ini sebagai akibat
dari munculnya kesalahpahaman yang pertama karena selama ini daerah sangat
bergantung pada pusat dalam bidang keuangan, apalagi melihat kontribusi
Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD rata – rata di bawah 15% untuk kabupaten
dan kota di seluruh Indonesia.
3. Dengan
otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggungjawabnya untuk membantu dan
membina daerah. Kekhawatiran yang muncul dari daerah – daerah dengan
adanya otonomi adalah pemerintah pusat melepaskan sepenuhnya terhadap daerah,
terutama di bidang keuangan. Padahal dalam Undang – Undang No. 22 tahun 1999
menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di berbagai negara, yaitu
setiap pemberian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada daerah harus disertai
dengan dana yang jelas dan cukup, apakah dalam bentuk Dana Alokasi Umum atau
Dana Alokasi Khusus serta bantuan keuangan yang lainya dari pemerintah pusat
pada daerah.
4. Dengan
otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja.Kesalahpahaman adanya otonomi daerah
berarti bebas melakukan apa saja tanpa terbatas. Padahal otonomi yang
diselenggarakan adalah dalam rangka memperkuat NKRI dan pemerataan kesejahteraan
di seluruh daerah, Daerah memang dapat melakukan apa saja sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang – undang yang berlaku secara
nasional. Disamping itu kepentingan masyarakat merupakan patokan yang paling
utama dalam mengambil atau menentukan suatu kebijaksanaan di daerah.
5. Otonomi
daerah akan menciptakan raja – raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi di
daerah. Otonomi daerah dapat memindahkan KKN dengan
menciptakan raja – raja kecil di daerah dapat terjadi apabila dilakukan tanpa
kontrol sama sekali dari masyarakat seperti yang telah dialami bangsa
Indonesia oleh pemerintahan Orde Baru ataupun Orde Lama. Sedangkan otonomi
daerah saat ini mendasarkan pada demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah, tidak ada lagi penguasa tunggal seperti pada masa lampau.
1.10.
Dasar Hukum Dan
Landasan Teori Otonomi Daerah
1. Dasar Hukum
Tidak hanya pengertian tentang otonomi daerah saja
yang perlu kita bahas.Namun ada dasar-dasar yang bisa menjadi landasan.Ada
beberapa peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai
berikut:
1. Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2. Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
3. Undang-Undang
No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber keuangan negara.
Selain berbagai dasar hukum yang mengatur tentang
otonomi daerah,saya juga menulis apa saja yang menjadi tujuan pelaksana otonomi
daerah,yaitu otonomi daerah harus bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
terhadap masyarakat yang berada di wilayah otonomi tersebut serta meningkatkan
pula sumber daya yang di miliki oleh daerah agar dapat bersain dengan daerah
otonom lainnya.
2. Landasan
Teori
Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori
dalam otonomi daerah .
a.
Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah. Asas-asas
tersebut sebagai berikut:
1) Asas tertib
penyelenggara negara
2) Asas
Kepentingan umum
3) Asas
Kepastian Hukum
4) Asas
keterbukaan
5) Asas
Profesionalitas
6) Asas
efisiensi
7) Asas
proporsionalitas
8) Asas
efektifitas
9) Asas
akuntabilitas
b. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah
tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam
kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka
muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya
adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan
sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan pardigma
pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan
tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya
adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat
dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang
dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi
antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus
tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan
nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin
digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk
memenuhi kebutuhan lokal.
c. Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk
penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang.
Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan
sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di
bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan negara
terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini,
pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa
desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah.
Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana
sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini
mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana
sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di
Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi
tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan
sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi”
itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah
daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal
perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran
yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.
2.11.
Pemeran Penting
Dalam Otonomi Daerah
Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang
namanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di
sini saya akan membahas sedikit mengenai APBD.
Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan
bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator penting
dalam menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor keuangan dalam
penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah
tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya
yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah yang
mrupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara nyata kemampuan
daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Suatu daerah otonom
diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah daerahnya
dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proposal yang
lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian yang terbesar
dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena itu,sudah
sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah
demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah.
Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan
mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu
yang dinyatakan dalam ukuran finansial,sedangkan penganggaran adalah proses
atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya
sebagai berikut ,anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan
kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai
pendapatan belanja dan aktifitasSecara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran
publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan :
1) Berapa biaya
atas rencana yang di buat(pengeluaran/belanja),dan
2) Berapa
banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana tersebut(pendapatan)
Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan
Negara disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan
dalam PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah disebutkan bahwa
APBD adlah rencana keuangan tahunan Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui
bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan
keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya
sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi
kebutuhan lokal.
2.12.
Dampak Otonomi
Daerah
a. Dampak
Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan
otonomi daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk
menampilkan identitas lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan
kendali pemerintah pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam
menghadapi masalah yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh
lebih banyak daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah
pusat. Dana tersebut memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah
serta membangun program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
b. Dampak
Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya
kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang
dapat merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain
itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan
konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan
daerah tetangganya, atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh
pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut
dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah
mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan
sistem otonomi daerah membuat peranan pemerintah pusat tidak begitu berarti.
2.13.
Nilai, Dimensi, dan Prinsip Otonomi Daerah
di Indonesia.
Otonomi daerah pada dasarnya adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang – undangan.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berkenaan dengan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, antara lain :
a. Nilai
Utaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara (eenheidstaat), yang berarti kedaulatan
yang melekat pada rakyat, bangsa, dan Negara Republik Indonesia tidak akan
terbagi diantara kesatuan –kesatuan pemerintah.
b. Nilai Dasar
Desentralisasi Teritorial, yang bersumber dari isi dan jiwa Pasal 18 Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Berdasarkan nilai ini,
pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Berdasarkan dua nilai dasar tersebut, penyelenggaraan
desentralisasi di Indonesia bepusat pada pembentukan daerah – daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian kekuasaan dan kewenangan
tersebut. Dengan demikian, titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada
daerah kabupaten/kota dengan beberapa dasar pertimbangan sebagai berikut :
1. Dimensi Politik, kabupaten/kota dipandang kurang mempunyai
fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan gerakan separatisme dan peluang
berkembangnya aspirasi federalis relatif minim.
2. Dimensi Administratif,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat
lebih efektif.
3. Kabupaten/kota
adalah daerah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga
kabupaten/kota-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, prinsip otonomi
daerah yang dianut adalah sebagai berikut :
a. Nyata, otonomi
secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi objektif di daerah
b. Bertanggungjawab,
pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di
seluruh pelosok tanah air.
c. Dinamis,
pelaksanaan otonomi selalu menajdi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
lebih maju.
Selain itu, terdapat lima prinsip dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berikut uraiannya :
1. Prinsip Kesatuan
Pelaksanaan otonomi daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat guna
memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat
lokal.
2.
Prinsip Riil
dan Tanggung Jawab
Pemberian otonomi daerah harus
merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bagi kepentingan seluruh
warga daerah. Pemerintah daerah berperan mengatur proses dinamika pemerintahan
dan pembangunan di daerah.
3.
Prinsip
Penyebaran
Asas desentralisasi perlu
dilaksanakan dengan asas dekonsentrasi. Caranya dengan memberikan kemungkinan
kepada masyarakat untuk kreatif dalam membangun daerahnya.
4.
Prinsip
Keserasian
Pemberian otonomi kepada daerah
mengutamakn aspek keserasian dan tujuan disamping aspek pendemokrasian.
5.
Prinsip
Pemberdayaan
Tujuan pemberian otonomi kepada
daerah adalah utnuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, terutama dalam aspek pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan
bangsa.
2.14. Kedudukan dan Peran Pemerintah Pusat
Pemerintahan pusat adalah penyelenggara pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yakni Presiden dengan dibantu seorang Wakil Presiden dan oleh
menteri- menteri negara. Atau dengan kata lain, pemerintahan pusat adalah
pemerintahan secara nasional yang berkedudukan di ibu kota Negara Republik
Indonesia. Pemerintahan pusat terdiri atas perangkat Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri dari presiden dan para pembantu presiden, yaitu
wakil presiden, para menteri, dan lembaga-lembaga pemerintahan pusat. Berkaitan
dengan pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan yang diambil dalam
menyelenggarakan pemerintahan digunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan,
dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurus urusan yang ada di daerah. Menurut
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi
dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
aparat pemerintah pusat yang ada di daerah untuk melaksanakan tugas pemerintah
pusat di daerah. dengan kata lain, dekonsentrasi adalah perpanjangan tangan
pemerintah pusat di daerah. Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dekonsentrasi didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tugas pembantuan (medebewind) merupakan penyertaan tugas-tugas atau
program-program Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat
I yang diberikan untuk turut dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dimana pelaksanaannya dapat
tercermin dari adanya konstribusi Pusat atau Propinsi dalam hal pembiayaan
pembangunan, maka besarnya konstribusi tersebut dapat digunakan untuk mengukur
besarnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat sentralistik. Menurut
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Tugas Pembantuan
adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten
kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Menurut Ryaas Rasyid, tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah menjaga
ketertiban dalam kehidupan masyarakat sehingga setiap warga dapat
menjalani kehidupan secara tenang, tenteram dan damai. Secara umum fungsi
pemerintahan mencakup tiga fungsi pokok yang seharusnya dijalankan oleh
pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (H. Nurul Aini dalam
Haryanto dkk, 1997 : 36-37) :
1.
Fungsi Layanan
(Servicing Function). Fungsi pelayanan dilakukan dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat dengan cara tidak diskriminatif dan tidak memberatkan
serta dengan kualitas yang sama. Dalam pelaksanaan fungsi ini pemerintah tidak
pilih kasih, melainkan semua orang memiliki hak sama, yaitu hak untuk
dilayaani, dihormati, diakui, diberi kesempatan (kepercayaan), dan sebagainya.
2.
Fungsi Pengaturan
(Regulating Function). Fungsi ini memberikan penekanan bahwa pengaturan tidak
hanya kepada rakyat tetapi kepada pemerintah sendiri. Artinya, dalam membuat
kebijakan lebih dinamis yang mengatur kehidupan masyarakat dan sekaligus
meminimalkan intervensi negara dalam kehidupan masyarakat. Jadi, fungsi
pemerintah adalah mengatur dan memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam
menjalankan hidupnya sebagai warga negara.
3.
Fungsi Pemberdayaan.
Fungsi ini dijalankan pemerintah dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat tahu, menyadari diri, dan mampu memilih alternatif yang baik untuk
mengatasi atau menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Pemerintah dalam
fungsi ini hanya sebagai fasilitator dan motivator untuk membantu masyarakat
menemukan jalan keluar dalam menghadapi setiap persoalan hidup.
Fungsi pengaturan
dilaksanakan pemerintah dengan membuat peraturan perundang-undangan untuk mengatur
hubungan manusia dalam masyarakat. Pemerintah adalah pihak yang mampu
menerapkan peraturan agar kehidupan dapat berjalan secara baik dan dinamis. Ada
enam fungsi pengaturan yang dimiliki pemerintah sebagai berikut.
1.
Menyediakan
infrastruktur ekonomi. Pemerintah menyediakan institusi dasar dan
peraturan-peraturan yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem ekonomi modern,
seperti perlindungan terhadap hak milik, hak ciipta, hak paten, dan sebagainya.
2.
Menyediakan barang dan
jasa kolektif. Fungsi ini dijalankan pemerintah karena masih terdapat beberapa
public goods yang tersedia bagi umum, ternyata masih sulit dijangkau oleh
beberapa individu untuk memperolehnya.
3.
Menjembatani konflik
dalam masyarakat. Fungsi ini dijalankan untuk meminimalkan konflik sehingga
menjamin ketertiban dan stabilitas di masyarakat.
4.
Menjaga kompetisi.
Peran pemerintah diperlukan untuk menjamin agar kegiatan ekonomi dapat
berlangsung dengan kompetisi yang sehat. Sebab tanpa pengawasan pemerintah akan
berakibat kompetisi dalam perdagangan tidak terkontrol dan dapat merusak
kompetisi tersebut.
5.
Menjamin akses minimal
setiap individu kepada barang dan jasa. Kehadiran pemerintah diharapkan dapat
memberikan bantuan kepada masyarakat miskin melalui program-program khusus.
6.
Menjaga stabilitas ekonomi.
Melalui fungsi ini pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan moneter apabila
terjadi sesuatu yang mengganggu stabilitas ekonomi. Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah
pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, agama, serta norma
Kewenangan Pemerintah
adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan
dalam rangka penyelenggaraan pemerintah. Kewenangan Pemerintah mencakup
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain (UU No. 25
Tahun 2000, Pasal 2). Selain kewenangan tersebut, pemerintah pusat memiliki
kewenangan lain, yaitu sebagai berikut.
1.
Perencanaan nasional
dan pengendalian pembangunan nasional secara makro.
2.
Dana perimbangan
keuangan.
3.
Sistem administrasi
negara dan lembaga perekonomian negara.
4.
Pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia.
5.
Pendayagunaan sumber
daya alam dan pemberdayaan sumber daya strategis.
6.
Konservasi dan
standarisasi nasional.
Ada beberapa tujuan
diberikannya kewenangan kepada pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi
daerah, meliputi tujuan umum, yaitu sebagai berikut.
1.
Meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
2.
Pemerataan dan
keadilan.
3.
Menciptakan
demokratisasi.
4.
Menghormati serta
menghargai berbagai kearifan atau nilai-nilai lokal dan nasional.
5.
Memperhatikan potensi
dan keanekaragaman bangsa, baik tingkat lokal maupun nasional.
Adapun tujuan khusus
yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.
1.
Mempertahankan dan
memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara.
2.
Menjamin kualitas
pelayanan umum setara bagi semua warga negara.
3.
Menjamin efisiensi
pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut berskala nasional.
4.
Menjamin pengadaan
teknologi keras dan lunak yang langka, canggih, mahal dan berisiko tinggi serta
sumber daya manusia yang berkualitas tinggi yang sangat diperlukan oleh bangsa
dan negara, seperti tenaga nuklir, teknologi satelit, penerbangan antariksa,
dan sebagainya.
5.
Membuka ruang
kebebasan bagi masyarakat, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
6.
Menciptakan kreativitas
dan inisiatif sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerahnya.
7.
Memberi peluang kepada
masyarakat untuk membangun dialog secara terbuka dan transparan dalam mengurus
dan mengatur rumah tangga sendiri.
Keinginan untuk
mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah
hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat
menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan pemerintahan
khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Otonomi daerah
adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.
Dimana untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya
segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk
mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkannya. Kecuali untuk
persoalan-persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu
sendiri dalam perspektif keutuhan negara- bangsa. Dalam Sidang Tahunan MPR
tahun 2000 telah pula ditetapkan ketetapan MPR No.IV/MPR/2000
tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain
merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan
menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah otonom
untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu
petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional
otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945.
3.2. Saran
Dengan adanya otonomi daerah ini,
diharapkan bahwa pemerintah daerah agar mampu memberdayakan daerahnya
masing-masing yang dapat membawa masyaraktnya menjadi masyarakat yang
bertanggung-jawab dan mampu melaksanakan pembangunan seacara mandiri. Tetapi
ingat, bahwa masing-masing pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk
mengelolah daerahnya, bukan berarti bahwa mereka diberi kemerdekaan penuh
terhadap suatu daerah. Karena di negara kita ini, merupakan negara yang
menjujung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan di bawah panji-panji
Pancasila.
Jangan sampai kebijakan ini disalahgunakan dan menyebabkan timbulnya
otonom-otonom yang kapitalis sehingga memicu timbulnya
pemberontakan-pemberontakan disebabkan kepentingan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila.1, 2, 3 dan 4.Jakarta:
YayasanCipta Loka Caraka,1973
Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif
Masyarakat dalam Otonomi Daerah. Dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437,
dikutip pada 27 Maret 2012
Azra, azyumardi.Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidatatullah
Jakarta, 2003
Budiarjo, Miriam.Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia, 1982
Diklat Teknis Penganggaran di Era
Desentralisasi, kerjasama LAN – Depdagri.
DR. Kaloh J, 2007, Mencari Bentuk
otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal Dan Tantangan
Global, Jakarta : Rhineka Cipta.
Id.m.wikipedia.org/wiki/otonomi_daerah
Istanto, sugeng.Beberapa Segi Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah
dalam Negara Kesatuan Republk Indonesia. Yogyakarta: Karya Putera, 1971
Karim, Abdul Gaffar, 2003, Kompleksitas Otonomi Daerah di Indonesia,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Lubis,
Rusdi. 2011. PEMBINAAN SDM UNTUK
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH. http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2474:pembinaan-sdm-untuk-pelaksanaan-otonomi-daerah&catid=11:opini&Itemid=83,
dikutip pada 27 Maret 2012
Marzuki,
M. Laica, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI – Jurnal
Konstitusi
Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″, Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Masykur, Nur Rif’ah.Peluang dan Tantangan Otonomi
Daerah. Jakarta: Rajawali, 2001
Mursyid, Diyanto, modul pendidikan kewarganegaraan
kelas IX semester gasal 2010/2011
Obatkafe.blogspot.com/2012/11/pengertian-dan-definisi-otonomi-daerah.html?m=1
Otonomidaerah.com/pengertian-otonomi-daerah.html
PPT OTODA Bahan ceramah Direktorat Jendral Otonomi Daerah pada KRA XXXVII
Lemhannas 2004.
Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek
Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada.
Seminar Desentralisasi Pemerintahan “Inventarisasi
Penyerahan Urusan Pemerintahan Refleksi
10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda – Depdagri.
Siregar, Faris. 2011. Hambatan Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Dari http://catatankuliahpraja.blogspot.com/2011/09/hambatan-pelaksanaan-otonomi-daerah.html,
dikutip pada 27 Maret 2012
Syaukani, dkk, 2009, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ubaedillah , A. dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic
Education), tp. p
Undang-Undang Otonomi Daerah Terbaru, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005, cet. I
Wahidin, Samsul.Pokok-pokok Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1984
Widjaja, HAW, 2004, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta : PT Grafindo
Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar